[April 02--saat detik hidupku berdetak lagi]
Desiran angin lembut sore hari di penghujung April membelai poni rambut pendeknya. Ia diam. Gadis kecil sipit berponi itu tak sedikitpun terganggu oleh angin yang kini mulai keras menepuk-nepuk pipinya. Pikirannya sibuk dengan hal lain,, hal yang mustahil singgah di kepalanya 5 menit lalu. Jauh, jauh sekali, senampak Belomorsk menatap Olovyannaya. Namun secepat eskalasi metafora alam semesta, derik transmisi neuron itu berkenan singgah sejenak di otaknya. Memberikan setitik jejak.
Mengubah dunianya.
Keputusan itu tiba! Tiba-tiba muncul membujuknya, merayu hatinya, melayangkan satu harapan tak pasti yang entah darimana datangnya dan membulatkan satu tekad dengan daya survival luar biasa yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Keputusannya untuk mendekatkan dirinya pada Sang Pencipta—hal yang amat tak terjangkau pikirnya. Yang tersimbolkan dengan ketaatan seorang wanita mengenakan helaian kain di atas rambut. Bagi dunia, mungkin itu sederhana. Tapi baginya, itu segalanya. Lebih dari hidupnya. Bukti dari segala janji yang tak pernah ia ketahui dapat ia penuhi atau tidak. Tanda dari segala ikrar untuk membuang seluruh kehidupannya. Membuang jauh-jauh pribadinya dan memulai semuanya dari awal lagi. Sekaligus bahagia karena Tuhan masih berkenan menyentuh hatinya.
Ditatapnya cermin lama-lama. Ada wajahnya sendiri disana. Dipandanginya pelan-pelan sepasang mata sipit yang terpantul sempurna diatas kaca.
Perlahan pandangannya mengabur, tergantikan dengan pemandangan tawa riuh. Lelaki dan perempuan. Bercampur baur. Ribut. Senang. Ia berdiri di tengah perhatian. Menarik. Dengan satu tindikan di telinga kanan. Tertawa keras. Menikmati semuanya.
Pemandangan makin buram dan berganti. Sepasang lelaki dan perempuan berjalan bergandengan tangan. Dekat. Mesra. Lama sekali. Jelas Ia disana, menggenggam tangan kekasihnya. Cintanya. Jiwanya.
Cermin kembali berubah. Kali ini semrawut asap rokok dan hingar bingar deru motor bersahut-sahutan. Sesekali teriakan dan umpatan keras terdengar. Perkelahian berebut ada di sekelilingnya. Lagi-lagi ia pun disana. Ikut ambil bagian tentunya. Teriakannya terdengar. Menertawakan mereka.
Lalu perlahan bayang-bayang itu mengabut. Kini terlihat seorang gadis tergeletak lemah bersimbah darah. Pergelangan tangan kirinya bergurat-gurat tersayat. Terlihat sebatang cutter tergenggam di tangan kanan. Haha, korban sinetron rupanya. Matanya sembab. Namun bibirnya tertawa. Tertawa melihat betapa bodohnya ia menghancurkan hidupnya sendiri. Menghujani dirinya sendiri dengan dosa dan air mata. Meneror hatinya dengan satu kegelisahan yang tak pernah ia temukan jawabannya mengapa. Air mata mengalir. Ia teringat kekasihnya. Teringat teman-temannya. Teringat mereka semua meninggalkannya. Kini ia hanya punya satu keinginan. Mengakhiri 14 tahun keberadaannya di dunia—ha, rupanya ia masih muda—seperti halnya keadaan dan kebodohan telah mencabik-cabik masa depannya.
Lalu tiba-tiba semua bayang-bayang itu hilang.
Ia diam menatap cermin.
Kini ia disini. Hidup. Tuhan belum menginginkannya pergi. Ia kini mengerti adanya mozaik dan rahasia ia tak dibiarkan mati.
Bahwa ia berarti.
’Jika Tuhan saja tidak menginginkan aku mati, maka dunia tidak berhak mengusirku pergi’
Perlahan ia menghela nafas dan satu kekuatan baru menerobos jiwanya. Tenteram membuai hatinya sekaligus menebaskan semua keraguan dan ketakutan yang ada. Matanya berkilat. Kini ia tak takut apa-apa lagi. Hanya Dia-lah harapannya. Alasan keberadaannya. Kehidupannya. Dan untuk itu, tanpa ragu lagi ia bersedia meninggalkan semuanya, masa lalunya, dan mengubah dirinya. Saat itu bulan April. Dan ia ingin menghadapi dunia. Sekali lagi.
Matahari April menatapnya dalam dan kembali mendesirkan anginnya. Ia tersenyum. Langkahnya kini ringan sekali.
[for the best power and inspiration]
Desiran angin lembut sore hari di penghujung April membelai poni rambut pendeknya. Ia diam. Gadis kecil sipit berponi itu tak sedikitpun terganggu oleh angin yang kini mulai keras menepuk-nepuk pipinya. Pikirannya sibuk dengan hal lain,, hal yang mustahil singgah di kepalanya 5 menit lalu. Jauh, jauh sekali, senampak Belomorsk menatap Olovyannaya. Namun secepat eskalasi metafora alam semesta, derik transmisi neuron itu berkenan singgah sejenak di otaknya. Memberikan setitik jejak.
Mengubah dunianya.
Keputusan itu tiba! Tiba-tiba muncul membujuknya, merayu hatinya, melayangkan satu harapan tak pasti yang entah darimana datangnya dan membulatkan satu tekad dengan daya survival luar biasa yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Keputusannya untuk mendekatkan dirinya pada Sang Pencipta—hal yang amat tak terjangkau pikirnya. Yang tersimbolkan dengan ketaatan seorang wanita mengenakan helaian kain di atas rambut. Bagi dunia, mungkin itu sederhana. Tapi baginya, itu segalanya. Lebih dari hidupnya. Bukti dari segala janji yang tak pernah ia ketahui dapat ia penuhi atau tidak. Tanda dari segala ikrar untuk membuang seluruh kehidupannya. Membuang jauh-jauh pribadinya dan memulai semuanya dari awal lagi. Sekaligus bahagia karena Tuhan masih berkenan menyentuh hatinya.
Ditatapnya cermin lama-lama. Ada wajahnya sendiri disana. Dipandanginya pelan-pelan sepasang mata sipit yang terpantul sempurna diatas kaca.
Perlahan pandangannya mengabur, tergantikan dengan pemandangan tawa riuh. Lelaki dan perempuan. Bercampur baur. Ribut. Senang. Ia berdiri di tengah perhatian. Menarik. Dengan satu tindikan di telinga kanan. Tertawa keras. Menikmati semuanya.
Pemandangan makin buram dan berganti. Sepasang lelaki dan perempuan berjalan bergandengan tangan. Dekat. Mesra. Lama sekali. Jelas Ia disana, menggenggam tangan kekasihnya. Cintanya. Jiwanya.
Cermin kembali berubah. Kali ini semrawut asap rokok dan hingar bingar deru motor bersahut-sahutan. Sesekali teriakan dan umpatan keras terdengar. Perkelahian berebut ada di sekelilingnya. Lagi-lagi ia pun disana. Ikut ambil bagian tentunya. Teriakannya terdengar. Menertawakan mereka.
Lalu perlahan bayang-bayang itu mengabut. Kini terlihat seorang gadis tergeletak lemah bersimbah darah. Pergelangan tangan kirinya bergurat-gurat tersayat. Terlihat sebatang cutter tergenggam di tangan kanan. Haha, korban sinetron rupanya. Matanya sembab. Namun bibirnya tertawa. Tertawa melihat betapa bodohnya ia menghancurkan hidupnya sendiri. Menghujani dirinya sendiri dengan dosa dan air mata. Meneror hatinya dengan satu kegelisahan yang tak pernah ia temukan jawabannya mengapa. Air mata mengalir. Ia teringat kekasihnya. Teringat teman-temannya. Teringat mereka semua meninggalkannya. Kini ia hanya punya satu keinginan. Mengakhiri 14 tahun keberadaannya di dunia—ha, rupanya ia masih muda—seperti halnya keadaan dan kebodohan telah mencabik-cabik masa depannya.
Lalu tiba-tiba semua bayang-bayang itu hilang.
Ia diam menatap cermin.
Kini ia disini. Hidup. Tuhan belum menginginkannya pergi. Ia kini mengerti adanya mozaik dan rahasia ia tak dibiarkan mati.
Bahwa ia berarti.
’Jika Tuhan saja tidak menginginkan aku mati, maka dunia tidak berhak mengusirku pergi’
Perlahan ia menghela nafas dan satu kekuatan baru menerobos jiwanya. Tenteram membuai hatinya sekaligus menebaskan semua keraguan dan ketakutan yang ada. Matanya berkilat. Kini ia tak takut apa-apa lagi. Hanya Dia-lah harapannya. Alasan keberadaannya. Kehidupannya. Dan untuk itu, tanpa ragu lagi ia bersedia meninggalkan semuanya, masa lalunya, dan mengubah dirinya. Saat itu bulan April. Dan ia ingin menghadapi dunia. Sekali lagi.
Matahari April menatapnya dalam dan kembali mendesirkan anginnya. Ia tersenyum. Langkahnya kini ringan sekali.
[for the best power and inspiration]
waaah teteh akhirnya aku menemukan blogmu juga..... ^^
BalasHapus