Kamis, 08 Januari 2009

Renungan 'De Parfait' di Sepertiga Malam

[Januari 2008]
Ditulis buat buklet kamamuki..



Dua puluh tahun waktu bergerak. Berdetak. Memetamorfosiskan bayi mungil yang dulu terlahir tanpa tangis menjadi seorang pemuda cerdas penuh masa depan menjanjikan.

Aku.

Narcistme adalah benalu sejak awal eksistensi manusia. Berebut pengaruh dengan moralitas yang orang bilang wajib terimplementasi pada manusia beradab. Kini, dalam renungan di sepertiga malamku, kuredam moralitasku dalam-dalam dan kubiarkan narcistme-ku melanglang buana, menjadi raja alam pikirku. Sesuatu yang tak pernah aku biarkan terjadi di dunia nyata.

Aku hebat.
Memang begitulah aku. Dengan titel ‘mahasiswa’ ber-IQ 138 di sebuah Perguruan Tinggi ternama, aku dengan tenang menghitung mundur hari-hari menuju gelar Sarjana sambil menelusuri huruf ‘A’ yang terbaris rapi pada transkrip nilai bertuliskan namaku.
Aku orang yang menyenangkan. Kecerdasan tidak menjadikanku mahasiswa kutu buku yang ringkih dan terkurung di sudut perpustakaan. Aku supel dan banyak teman. Rujukan bagi teman-temanku untuk meminta saran atau sekedar curhat tentang kehidupan. Masa depanku sama sekali tidak kukhawatirkan. Kecerdasan intelektualku yang ditunjukkan dengan serangkaian nilai ‘A’ dan IPK diatas tiga koma lima cukup untuk membuatku ‘aman’ berkarir di masa depan.

Aku cukup religius. Seorang muslim, yang cukup bangga akan hal itu. Shalat 5 waktu tak pernah aku tinggalkan, begitu pula ibadah sunnahku yang kupikir tak terlalu mengecewakan. Kupikir inilah cara aku bersyukur padaNya atas segala nikmat dan kelebihan yang diberikanNya padaku. Aku tak pacaran. Bukan hanya karena ku tahu itu haram, namun lebih karena aku terpesona pada kebebasan. Meski karenanya aku harus memalingkan diriku dari gadis-gadis berpipi merah jambu yang menunduk malu-malu.
Lihat, bukankah sudah kukatakan bahwa aku hebat?! Aku sosok impian banyak orang.
Aku menjalani hidupku dengan ringan, tenang dan menyenangkan. Apalagi yang kurang dariku?! Aku terikat pada aturan Tuhan, cukup religius bahkan. Aku cerdas dengan IPK jauh diatas lumayan. Aku pun teman yang menyenangkan serta anak yang membanggakan. Aku Parfait. Sempurna.

Cermin keangkuhanku hancur bulan lalu. Saat adik perempuanku yang masih duduk di kelas 6 SD tiba-tiba bertanya, “A, Ade ada PR Agama nih. Nomor lima, ‘Sebutkan tujuan hidup manusia di dunia ini?’. Belum sempat pertanyaan itu kujawab, ia bertanya lagi, “Emang tujuan manusia hidup apa A? Kalo tujuan hidup Aa?!”

Aku diam.

Entah kenapa lidahku kelu menjawab pertanyaan sederhana itu. Aku, ‘De Parfait, The Perfect, sang sempurna ternyata tak dapat berbuat apa-apa menghadapi pertanyaan sederhana seorang gadis kecil berumur 12 tahun. Untuk apa aku hidup?!

Dengan kecerdasan yang Allah karuniakan kepadaku seharusnya amat mudah bagi diriku mengetahui maksud penciptaanku, esensi hidupku, dan diriku. Namun kenapa aku tak melakukannya?! Apakah selama ini aku terlalu sibuk menghiasi diriku dengan pernak-pernik ‘kesempurnaan’ yang diinginkan banyak orang, hingga tak lagi peduli pada esensi, tujuan, dan maksud penciptaan diriku?

Astaghfirullahal’adzim..

Aku tahu, sesungguhnya tidak sulit untuk mengetahui esensi kehidupan seorang manusia. Aku tidak memerlukan suatu Enigma berkalibrasi identik seperti halnya yang dilakukan pasukan NAZI saat membuka naskah berkode. Aku juga sama sekali tak membutuhkan penerapan Prinsip Bergofsky seperti yang dilakukan para kriptografer Amerika untuk mengurai algoritma suatu sandi. Aku hanya perlu membuka Al-Qur’an, kitab suci Kaum Muslim, kitab sempurna yang terjaga selamanya.
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Itulah tujuan hidupku. Tujuan hidup manusia. Tapi bukankah itu telah aku lakukan?! Shalat 5 waktu tak pernah aku tinggalkan, ibadah sunnah kerap aku lakukan, apalagi yang kurang?!
Otakku yang cerdas berputar dengan cepat dan meneriakkan jawaban itu dengan lantang, ‘Apa kau pikir aturan Allah hanya menyangkut urusan itu saja?! Apa kau pikir Allah hanya mengatur masalah individu manusia saja? Tidak lebih?! Lantas bagaimana dengan masalah masyarakat? Apa memang Allah tidak punya penyelesaian untuk itu semua? Atau memang kau hanya mencukupkan dirimu untuk mengetahui sebagian aturan Allah saja dan tidak mau tahu yang lainnya?!’

Aku diam. Jelas 6236 ayat di Al-Qur’an tak hanya menjelaskan tentang pengaturan manusia sebagai seorang individu saja. Aturan mengenai urusan publik manusia tercantum begitu banyak. Allah mengatur manusia dalam urusan ekonomi (QS. Al-Baqarah:275; Al-Jumu’ah:10; Al-Qashash:77), pendidikan (QS. Yunus: 36; Al-Baqarah:164; dll), peradilan hukum (QS. Al-An’am:57; An-Nur:2; An-Nisa:59), pergaulan (QS.An-Nur:30-31; Al-Isra’:32), bahkan pemerintahan (QS. An-Nisa:59; QS. Al-An’am:7; HR. Muslim). Islam itu sempurna seperti yang Allah firmankan dalam QS. Al-Maidah ayat 3.

Tapi semua itu menjadi fatamorgana di kehidupan nyata. Aturan Allah yang mengatur urusan publik manusia terpinggirkan dan tersimpan rapat hanya sekedar menjadi rangkaian huruf dalam kitab. Mendominasi ranah teoretis tanpa pernah menyentuh tatanan praktis. Pantas saja jika saat ini umat terbelit beragam masalah dan penderitaan. Masalah umat terlalu banyak. Pelik. Sulit. Complicated. Tak bermuara pada apapun kecuali lingkaran penderitaan yang menyala-nyala. Berbagai solusi dilontarkan, namun tak satupun dapat menyelesaikan permasalahan umat dengan tuntas. Jelas saja itu terjadi. Aku yakin, hasilnya akan berbeda jika yang digunakan untuk menyelesaikan semua permasalahan itu adalah aturan Allah.

Aku bersyukur, Allah berkenan menyadarkan aku. Bahwa De Parfait adalah seorang manusia biasa. Sama sekali tak ada yang sempurna. Memang, mungkin aku terlihat sedikit ‘lebih’ dibandingkan orang lain. Namun sama sekali tak sempurna. Aku malu pada diriku. Kesibukanku menjaga ‘kesempurnaan’ agar ‘De Parfait tetap hidup telah membutakan aku bahwa masalah umat begitu banyak dan menyuburkan ketidakpedulianku pada itu semua.

Tapi kini aku peduli.

=============================================================

Aku. Mahasiswa ber-IQ 138 di sebuah Perguruan Tinggi ternama. Menyenangkan. Supel dan banyak teman. Rujukan bagi kawan-kawan untuk meminta saran atau sekedar curhat tentang kehidupan. Masa depanku sama sekali tidak kukhawatirkan dengan IPK diatas tiga koma lima yang cukup untuk membuatku ‘aman’ berkarir di masa depan.
Namun kini, ada satu tambahan penting atas diriku,

Aku pejuang Islam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar