Kisruh pengesahan UU BHP masih terus berlanjut. Banyak kalangan yang kecewa dengan pengesahan UU tersebut berencana mengajukan uji materi (Judicial Review) UU BHP ke Mahkamah Konstitusi.
Pengesahan UU BHP merupakan suatu penyelewengan terhadap tujuan dan filosofi pendidikan
Sesuai dengan amanah konstitusi, pendidikan merupakan hak warga Negara yang penjaminan pemenuhannya wajib dilakukan oleh Negara. Berubahnya bentuk institusi pendidikan menjadi Badan Hukum akan mengeliminasi penjaminan Negara terhadap masyarakat dalam memperoleh pendidikan, salah satunya dari sisi aksesibilitas..
Segala semangat positif yang terdapat dalam BHP, seperti akuntabilitas, transparansi serta efisiensi birokrasi diharapkan akan menjadi solusi dari permasalahan pendidikan di Indonesia, yang dinilai bersumber dari inefisiensi birokrasi. Namun, terlepas dari itu semua, kita pun harus memperhatikan dengan jeli bahwa pengubahan status institusi pendidikan menjadi BHP mengandung konsekuensi tersendiri. Konsekuensi tersebut merupakan akibat dari esensi bentuk Badan Hukum yang melekat pada institusi pendidikan berbentuk BHP.
Salah satu hal yang perlu dikritisi adalah dari sisi pendanaan BHP. Sebagaimana tercantum dalam UU BHP pasal 41, tidak seluruh pendanaan BHP berasal dari Pemerintah, baik itu pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Artinya masih terdapat porsi-porsi dimana institusi pendidikan yang bersangkutan perlu mengusahakan sendiri sumber dana lain dalam memenuhi biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Mari kita telaah, dari sumber-sumber mana saja institusi pendidikan dapat memperoleh dana untuk ‘menambal’ biaya operasional mereka. Dari peneleaahan tersebut juga akan terlihat bahwa mekanisme pendanaan biaya operasional pada BHP diluar porsi pemerintah, tidak hanya diatur dalam UU BHP saja, namun juga tercantum pada peraturan-peraturan lain (PP dan Perpres). UU BHP ‘hanya’ menjelaskan garis besar porsi-porsi pembiayaan yang harus ditanggung sendiri oleh BHP dan menjelaskan secara umum mekanisme memperolehnya. Rincian dari mekanisme tersebut diatur selanjutnya oleh peraturan lain.
Salah satu sumber pendanaan yang diperbolehkan dijalankan oleh BHP adalah investasi dalam bentuk portofolio (saham). Hal ini tercantum dengan jelas pada pasal 42 ayat 1. Hal ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan (BHP) dapat bermain di pasar bursa. Tentunya kita belum lupa mengenai riskannya bermain di sektor finansial. Gambaran anjloknya sektor finansial dunia pada krisis ekonomi global saat ini tentunya sangat menggambarkan tingginya resiko permainan saham di lantai bursa. Tak terhitung berapa banyak perusahaan-perusahaan besar dunia yang mendadak gulung tikar karena fluktuasi nilai saham yang sangat rentan. Bayangkan jika sektor vital seperti pendidikan ditopang oleh mekanisme pendanaan yang rapuh seperti ini? Akan jadi seperti apa dunia pendidikan
Mekanisme lain yang dapat dilakukan oleh BHP untuk memperoleh dana adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dengan ketentuan yang sesuai dengan undang-undang (peraturan) yang ada. Hal tersebut tercantum dalam pasal 45 ayat 1 UU BHP, namun tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai hal tersebut. Satu hal yang menarik adalah keberadaan PP no.48 tahun 2008 mengenai pendanaan pendidikan. PP tersebut menjelaskan secara terperinci sumber-sumber dana ynag dapat digunakan oleh BHP. Pada PP tersebut terdapat beberapa pasal yang jelas-jelas mengatakan bahwa salah satu sumber pendanaan institusi pendidikan adalah dari pihak asing. Sedikitnya terdapat 15 pasal dalam PP tersebut yang menyebutkan bahwa salah satu sumber pendanaan yang sah dari institusi pendidikan berasal dari pihak asing.
Keterlibatan pihak asing dalam dunia pendidikan
Lucu sekali. Disaat Pemerintah perlahan-lahan berlepas tangan dari pendanaan pendidikan, pihak asing justru perlahan-lahan diberikan wewenang untuk mendanai pendidikan negeri ini. Jika seperti ini, secara tidak langsung Pemerintah telah melegalkan jalan bagi pihak asing untuk mulai mengambil alih otoritas pendidikan
Melihat semua ini, wajar bila rakyat bertanya, “Mau dibawa kemana pendidikan Indonesia?” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar