"Kepulauan Indonesia terletak pada jalur-jalur laut yang strategis dan pemerintah Indonesia memainkan peranan yang vital dalam perundingan-perundingan hukum kelautan, yang sangatlah penting untuk keamanan dan kepentingan komersiil kita."
(laporan Departemen Luar Negeri AS ke Kongres di tahun 1975)
10 tahun sudah reformasi digagas, namun krisis multidimensional masih saja enggan meninggalkan negeri ini. Alih-alih membaik, keadaan bangsa ini secara keseluruhan nyaris tidak mengalami perbaikan signifikan dari segala aspek. Demokratisasi yang katanya mengalami perbaikan pasca reformasi (hingga AS memberikan penghargaan pada
Neoliberalisme lantas menjadi pilihan kiblat Pemerintahan setelahnya, yang tentunya pengaturan seluruh aspek-aspek kehidupan negara, seperti perekonomian, pendidikan, kesehatan, pangan dan pertanian, sosial kemasyarakatan dan sebagainya berkiblat pada ideology ini. Neoliberalisme, sebagai produk dari Kapitalisme yang menggejala di seluruh dunia merupakan wajah baru (neo) dari liberalisme, suatu paham yang pernah popular pada abad 19 hingga awal abad 20. Paham yang digagas pertama kali oleh Adam Smith (1776), yang dikenal sebagai Bapak Ekonomi Klasik ini menawarkan kebebasan (liberal) dengan meminimalisasi peran pemerintah, tidak terbatas hanya dalam sektor ekonomi, namun juga dalam aspek lainnya. Liberalisme percaya bahwa penentuan harga yang sehat dalam suatu proses ekonomi hanya dapat diperoleh melalui suatu mekanisme pasar yang bebas dari intervensi manapun, akan ada ‘invisible hand’ yang secara alami (atau ajaib?) mengatur keseimbangan pasar. Neoliberalisme menawarkan wajah baru dari liberalisme Adam Smith, namun tentu esensi ideologinya tetap sama. Kebebasan. Paham yang digagas kembali oleh PM Inggris, Margareth Tatcher dan Presiden AS, Ronald Reagan pada tahun 1973 mulai popular pasca teori ekonomi Keynesian tidak sanggup menjawab permasalahan-permasalahan ekonomi dunia.
Sebagai Negara yang berhaluan Kapitalis (sejak rezim Orde Baru), apapun jenisnya, sistem neoliberal lantas menjadi pilihan negara kita pasca reformasi. Lantas, apakah keadaan
Dalam bidang ekonomi, semangat neoliberalisme, yakni privatisasi, deregulasi dan liberalisasi makin terasa pasca reformasi. Dimulai dengan ditandatanganinya LoI (Letter of Intent) dengan IMF, Undang-Undang Indonesia makin liberal, dan para pemilik modal, baik local maupun internasional mulai dimanjakan dengan disahkannya UU-UU tersebut. Sebut saja UU No.22/2001 tentang minyak dan gas bumi, UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Perpres no.77 tahun 2007, UU BHP, UU BUMN dan masih banyak lagi.
Kini, di tahun 2008,
Itu baru dari sisi ekonomi, dari bidang kesehatan (atau lebih tepatnya pertahanan), kita mendengar sengketa mengenai status NAMRU 2 yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun di negeri ini masih diperdebatkan. Apakah izin operasionalnya akan dicabut atau tidak.
Dari bidang pendidikan, aroma privatisasi pun tercium. Melalui UU BHP yang baru saja disahkan namun entah kenapa penerapannya telah terlihat di perguruan tinggi ini sejak beberapa tahun lalu, peran Negara diminimalisir sedemikian rupa sehingga memungkinkan sector swasta bermain lebih dinamis. Perlu dicatat, dengan bebasnya permainan pihak swasta dan minimnya proteksi Pemerintah, pendidikan yang seharusnya berhak dinikmati oleh setiap warga Negara seperti yang tercantum pada pasal 31 UUD 1945 akan berubah menjadi komoditas. Pendidikan adalah barang dagangan yang harus ‘dibeli’. Tidak peduli apakah seluruh masyarakat mampu membelinya atau tidak. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah hukum rimba, persaingan tanpa akhir karena hanya dapat dimenangkan oleh orang-orang berduit. Tercipta jurang pemisah yang lebar dan semakin lebar tidak hanya antara si kaya dan si miskin namun juga antara si pintar dan si bodoh.
Tidak bosankah negeri ini dengan itu semua? Tidak lelahkah para pemimpin negeri ini melihat rakyat mereka didera penderitaan dan kesengsaraan sekian lama? Tidak terketukkah hati mereka melihat ratusan bayi menangis kelaparan setiap hari? Melihat ribuan anak-anak yang seharusnya mengenyam pendidikan malah terpenjarakan dalam kerasnya jalanan? Mau jadi apa bangsa ini jika itu semua terus terjadi?
Masihkah para penguasa kita yang duduk di atas sana berpikir untuk tetap mempertahankan kapitalisme di negeri ini ? Ataukah mereka sedang sibuk membungkus ganasnya wajah kapitalisme dengan coreng moreng badut-badut lucu ?
Menyedihkan ! Memuakkan !
Sudah saatnya negeri ini bangkit ! Bukan dengan kapitalisme yang dengan suksesnya telah membawa dunia pada krisis global berkepanjangan dan mengamini perbudakan, bukan pula dengan sosialisme yang bercita-cita menghilangkan perbedaan kelas2 masyarakat namun malah menempuh jalan pembantaian seperti kita saksikan di Uni soviet abad lalu, namun dengan satu peraturan sempurna, yang mulia, yang diciptakan Allah SWT, Sang pencipta manusia dan alam semesta.
Islam, Rahmatan lil ‘Alamin. Penerapannya telah terbukti mengangkat peradaban manusia selama 1300 tahun. Silakan bongkar catatan sejarah yang ditutup-tutupi mengenai Khilafah Islamiyyah, maka akan terlihat betapa Islam membuktikan dirinya sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Kini, adalah zaman kita. Saat nafas kita masih terhembus, saat itulah kewajiban ada di pundak kita. Perjuangan itu keniscayaan.
Atau bukan? []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar