Kamis, 08 Januari 2009

Negeri Ini Butuh Sistem Baru!

"Kepulauan Indonesia terletak pada jalur-jalur laut yang strategis dan pemerintah Indonesia memainkan peranan yang vital dalam perundingan-perundingan hukum kelautan, yang sangatlah penting untuk keamanan dan kepentingan komersiil kita."

(laporan Departemen Luar Negeri AS ke Kongres di tahun 1975)


10 tahun sudah reformasi digagas, namun krisis multidimensional masih saja enggan meninggalkan negeri ini. Alih-alih membaik, keadaan bangsa ini secara keseluruhan nyaris tidak mengalami perbaikan signifikan dari segala aspek. Demokratisasi yang katanya mengalami perbaikan pasca reformasi (hingga AS memberikan penghargaan pada Indonesia karena progresitas demokratisasinya), ternyata hanya membawa bangsa ini pada perangkap krisis lain yang tak kalah menyengsarakan dibanding dengan diktaroriat rezim Soeharto. Keran-keran demokrasi dan kebebasan yang dibuka begitu deras tanpa batas dengan hancurnya tirani orde baru, telah menghasilkan problematika baru bagi bangsa ini. Indonesia terbuka, bebas dan liberal. Lepas dari kungkungan selama 32 tahun ternyata membuat euphoria kebebasan menjadi dewa kebijakan negara. Reformasi kehilangan esensinya untuk memperbaiki Indonesia, kebanyakan aktivisnya pun banyak terjebak dalam kenyamanan perpolitikan yang mematikan idealisme mereka 10 tahun lalu.

Neoliberalisme lantas menjadi pilihan kiblat Pemerintahan setelahnya, yang tentunya pengaturan seluruh aspek-aspek kehidupan negara, seperti perekonomian, pendidikan, kesehatan, pangan dan pertanian, sosial kemasyarakatan dan sebagainya berkiblat pada ideology ini. Neoliberalisme, sebagai produk dari Kapitalisme yang menggejala di seluruh dunia merupakan wajah baru (neo) dari liberalisme, suatu paham yang pernah popular pada abad 19 hingga awal abad 20. Paham yang digagas pertama kali oleh Adam Smith (1776), yang dikenal sebagai Bapak Ekonomi Klasik ini menawarkan kebebasan (liberal) dengan meminimalisasi peran pemerintah, tidak terbatas hanya dalam sektor ekonomi, namun juga dalam aspek lainnya. Liberalisme percaya bahwa penentuan harga yang sehat dalam suatu proses ekonomi hanya dapat diperoleh melalui suatu mekanisme pasar yang bebas dari intervensi manapun, akan ada ‘invisible hand’ yang secara alami (atau ajaib?) mengatur keseimbangan pasar. Neoliberalisme menawarkan wajah baru dari liberalisme Adam Smith, namun tentu esensi ideologinya tetap sama. Kebebasan. Paham yang digagas kembali oleh PM Inggris, Margareth Tatcher dan Presiden AS, Ronald Reagan pada tahun 1973 mulai popular pasca teori ekonomi Keynesian tidak sanggup menjawab permasalahan-permasalahan ekonomi dunia.

Sebagai Negara yang berhaluan Kapitalis (sejak rezim Orde Baru), apapun jenisnya, sistem neoliberal lantas menjadi pilihan negara kita pasca reformasi. Lantas, apakah keadaan Indonesia lebih baik dibanding sebelumnya dengan digunakannya sistem ini? Tidak. Keterbukaan Indonesia pada dunia internasional akibat doktrin kebebasan dan keengganan intervensi pemerintah dalam sistem perekonomian akibat paham neoliberal menghasilkan suatu kolaborasi yang makin menenggelamkan bangsa ini.

Dalam bidang ekonomi, semangat neoliberalisme, yakni privatisasi, deregulasi dan liberalisasi makin terasa pasca reformasi. Dimulai dengan ditandatanganinya LoI (Letter of Intent) dengan IMF, Undang-Undang Indonesia makin liberal, dan para pemilik modal, baik local maupun internasional mulai dimanjakan dengan disahkannya UU-UU tersebut. Sebut saja UU No.22/2001 tentang minyak dan gas bumi, UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Perpres no.77 tahun 2007, UU BHP, UU BUMN dan masih banyak lagi.

Kini, di tahun 2008, Indonesia kembali mengalami krisis. Naiknya harga pangan dan minyak di pasaran internasional, membuat pemerintah Indonesia ‘kelabakan’ dan ‘mau tidak mau’ melakukan hal yang sama di dalam negeri. Suatu konsekuensi dari dilaksanakannya neoliberalisme di negeri ini. Negeri yang tengah menata kembali dirinya dihantam lagi dengan gejolak. 24 Mei 2008 Pemerintah secara resmi mengurangi subsidi BBM dan mengakibatkan kenaikan harga sebesar 28,7%. Tekanan APBN dalam membiayai subsidi menjadi salah satu alasannya. Ini adalah kebijakan kenaikan BBM yang ketiga dalam 4 tahun terakhir, sebelumnya, pada tahun 2005, sempat terjadi 2 kali kenaikan harga BBM. Persoalan tidak berhenti sampai disini, naiknya harga BBM tentu mengimbas pada naiknya harga barang kebutuhan pokok, seperti pangan, sarana kesehatan, pendidikan, transportasi dan sebagainya. Rakyat miskin bertambah, sektor-sektor pokok kehidupan menjadi tidak terjamah, pengangguran meningkat, terjadi deindustrialisasi, lesunya pertumbuhan ekonomi riil dan angka bunuh diri yang makin memprihatinkan hanya secuil fakta yang menggambarkan penderitaan rakyat dan menunjukkan betapa tidak beresnya pengurusan negeri ini.

Itu baru dari sisi ekonomi, dari bidang kesehatan (atau lebih tepatnya pertahanan), kita mendengar sengketa mengenai status NAMRU 2 yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun di negeri ini masih diperdebatkan. Apakah izin operasionalnya akan dicabut atau tidak.

Dari bidang pendidikan, aroma privatisasi pun tercium. Melalui UU BHP yang baru saja disahkan namun entah kenapa penerapannya telah terlihat di perguruan tinggi ini sejak beberapa tahun lalu, peran Negara diminimalisir sedemikian rupa sehingga memungkinkan sector swasta bermain lebih dinamis. Perlu dicatat, dengan bebasnya permainan pihak swasta dan minimnya proteksi Pemerintah, pendidikan yang seharusnya berhak dinikmati oleh setiap warga Negara seperti yang tercantum pada pasal 31 UUD 1945 akan berubah menjadi komoditas. Pendidikan adalah barang dagangan yang harus ‘dibeli’. Tidak peduli apakah seluruh masyarakat mampu membelinya atau tidak. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah hukum rimba, persaingan tanpa akhir karena hanya dapat dimenangkan oleh orang-orang berduit. Tercipta jurang pemisah yang lebar dan semakin lebar tidak hanya antara si kaya dan si miskin namun juga antara si pintar dan si bodoh.

Tidak bosankah negeri ini dengan itu semua? Tidak lelahkah para pemimpin negeri ini melihat rakyat mereka didera penderitaan dan kesengsaraan sekian lama? Tidak terketukkah hati mereka melihat ratusan bayi menangis kelaparan setiap hari? Melihat ribuan anak-anak yang seharusnya mengenyam pendidikan malah terpenjarakan dalam kerasnya jalanan? Mau jadi apa bangsa ini jika itu semua terus terjadi?

Masihkah para penguasa kita yang duduk di atas sana berpikir untuk tetap mempertahankan kapitalisme di negeri ini ? Ataukah mereka sedang sibuk membungkus ganasnya wajah kapitalisme dengan coreng moreng badut-badut lucu ?

Menyedihkan ! Memuakkan !

Sudah saatnya negeri ini bangkit ! Bukan dengan kapitalisme yang dengan suksesnya telah membawa dunia pada krisis global berkepanjangan dan mengamini perbudakan, bukan pula dengan sosialisme yang bercita-cita menghilangkan perbedaan kelas2 masyarakat namun malah menempuh jalan pembantaian seperti kita saksikan di Uni soviet abad lalu, namun dengan satu peraturan sempurna, yang mulia, yang diciptakan Allah SWT, Sang pencipta manusia dan alam semesta.

Islam, Rahmatan lil ‘Alamin. Penerapannya telah terbukti mengangkat peradaban manusia selama 1300 tahun. Silakan bongkar catatan sejarah yang ditutup-tutupi mengenai Khilafah Islamiyyah, maka akan terlihat betapa Islam membuktikan dirinya sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Kini, adalah zaman kita. Saat nafas kita masih terhembus, saat itulah kewajiban ada di pundak kita. Perjuangan itu keniscayaan. Dan waktu akan membuktikan, apakah kita termasuk para pajuang?

Atau bukan? []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar