Jumat, 09 Januari 2009

Perempuan

Euforia peringatan kemerdekaan republik selalu terasa menjelang 17 agustus. Gegap gempita merayakan merdekanya negeri ini dari penjajahan kolonial klasik terlihat dimana-mana, mulai dari kota besar hingga pelosok desa. Kemerdekaan negeri ini dapat diartikan kemerdekaan peran dalam setiap aspek kehidupan bagi seluruh komponen masyarakat, termasuk perempuan.


Perempuan. Mitra lelaki yang dalam sejarahnya memiliki catatan panjang dalam hal pendiskreditan dan inferioritas peran pada berbagai peradaban. Dulu dan sekarang.


Kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam yang senang memperjualbelikan perempuan, menyewakan istri untuk orang lain dan mengubur hidup-hidup bayi perempuan cukuplah menjadi contoh kelam pendiskreditan atas eksistensi perempuan. Indonesia pra kemerdekaan pun tak luput dari fenomena serupa. Bagaimana perempuan lagi-lagi dianggap sebagai kaum nomor dua setelah lelaki. R.A Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dikenal, dan sebagainya.


Bagaimana dengan sekarang? Apakah abad hi-tech dengan segala modernisasinya ini telah berhasil menempatkan perempuan dalam posisi yang mulia dan memerdekakan peran sang wanita? Ternyata tidak. Ide feminis yang santer disuarakan untuk mengangkat peran perempuan pun tak mampu membebaskan belenggu eksploitatif ini. Alih-alih membebaskan, ide ‘kesamarataan peran’ antara laki-laki dan perempuan yang dinisbahkan secara berlebihan, justru menjerumuskan kaum perempuan pada bentuk eksploitatif yang berbeda. Meski tak kentara, kaum perempuan kembali menjadi objek garapan manusia-manusia tak bermoral. Mereka dijadikan objek perdagangan (trafficking), objek eksploitasi melalui berbagai macam kontes kecantikan dan model iklan. Kebebasan yang disuarakan bagi perempuan ternyata lebih banyak berkutat seputar keindahan fisik semata. Sehingga seringkali muncul anggapan picik bahwa ‘nilai’ seorang wanita terletak pada ‘seberapa indah’ tubuhnya. Korban pun berjatuhan. Kasus-kasus bulimia, anoreksia, kegagalan bedah plastik, diet ketat yang berujung pada kematian, dll dengan cepat menjamur di seluruh dunia. Ide ‘kesamarataan peran’ pun membuat banyak perempuan menikah berlomba-lomba mengejar karirnya di luar rumah. Karir yang setara dengan lelaki dianggap sebagai simbol ketercapaian emansipasi dan kemerdekaan peran perempuan. Pada faktanya banyak wanita karir yang begitu sibuk dengan urusan karirnya sehingga seringkali melalaikan pengurusan keluarga termasuk anak-anaknya.


Perempuan, merupakan makhluk mulia yang ditangannya lah peradaban berada. Ia adalah pengemban tugas mulia yang diberikan alam kepadanya. Ia adalah seorang ibu. Pendidik pertama dan utama bagi setiap manusia. Sekolah istimewa bagi setiap jiwa yang lahir ke dunia. Peran agung yang tidak dimiliki oleh laki-laki dan hanya terlekat pada perempuan. Kesadaran mengenai mulianya peran perempuan tersebut dimiliki oleh R.A Kartini, seperti terlihat dalam isi suratnya kepada Profesor Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902:


Kami disini memohon diusahakannya pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi kami yakin akan pengariuhnya yang besar sekali bagi kaum perempuan; agar perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya: menjadi Ibu, pendidik manusia pertama-tama’


Itulah peran utama dari seorang perempuan. Sebagai pendidik dan pencetak generasi hebat. Sebagai seorang Ibu. Peran maha penting yang sayangnya saat ini banyak dianggap sebagai suatu bentuk pengekangan terhadap kebebasan perempuan. Seperti itulah seharusnya perempuan bersikap. Bukan semata-mata terbutakan oleh emansipasi sehingga berlomba-lomba mengejar karir dan melupakan peran mulia ini.


Tidak ada yang salah dengan suksesnya karir seorang perempuan. Tidak ada yang salah dengan tingginya tingkat pendidikan kaum perempuan. Tidak ada yang salah dengan aktivitas-aktivitas perempuan di luar rumah. Yang salah adalah ketika semua itu membuat perempuan melalaikan peran utamanya sebagai Ibu dan pendidik anak-anaknya.


Perempuan adalah pelukis peradaban. Arsitek kehidupan yang di tangannya dapat lahir generasi-generasi cemerlang. Kemerdekaan peran perempuan jelas harus diawali dengan mendudukkan peran perempuan sebagaimana mestinya. Peran perempuan sebagai Ibu pencetak generasi-generasi cemerlang pembangun Bangsa. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar