Kamis, 08 Januari 2009

Mengejar Matahari


[Maret 2007--guratan kata yang terus mengalir dari lengan yang tak dapat ku kendalikan]


Sekarang aku sendiri, berlari..

Mengejar matahari..

Aku lelah, nafasku berdesah patah-patah dengan te;lapak kaki terbajar, pedih terkelupas.. Namun matahari itu masih jauh dari genggaman..

Ia menggodaku..

Menantangku mengejarnya dengan tamparan sinarnya di wajah pucatku, mengejekku dan mengatai ketidakmampuanku mengejar sosoknya..

‘Haha, pengecut! Tangkap aku!’

Tangan ringkihku terulur, mencoba meraihnya, namun tak jua kurasakan panas membara sang matahari pada jemari hitamku..

Segenggam silau padamkan sadarku, menjemputku dalam buaian angin padang gurun nan garang, mengangkat separuh harga diri yang terserak patah, menghamburkannya, berantakan, seperti abu-abu kosmik saat pertama diciptakan..

Hilang dalam ketiadaan..

Rangkaian embun pagi hadirkan secercah harapan, sekilas saja.. Secepat angin barat daya yang serentak datang mengacaukannya.. Serupa derap kuda-kuda perang memperkosa damai tenang mimpi bayi dalam buaian sang fajar..

Keras! Merusak!

Damai di kepalaku hancur oleh ilalang yang mendadak tumbuh disana..

Banyak!

Padat!

Deru dentam kemahsyuran Baginda Raja tak ubahnya rengek isak ulat-ulat manja yang iri pada kupu-kupu..

Daun-daun bergemerisik hilangkan iramanya, malawan kehendak menjadi hijau, memicingkan sebelah mata, separuh jiwa, merangsek cepat, menjadi cokelat, menanti hilang, terjatuh ditempa angin senja hari.., menghias simfoni negeri 4 musim sebelum putih salju mewarnai wajah-wajah pagi..

Seorang gadis terduduk mesra, dengan binar merah muda, menanti ucap srindu kekasih tercinta, dalam hatinya yang perawan.., menisik hari, menyulamnya dengan benang-bennag pengharapan, mengunjungi kelamnya danau hati, memercikan aroma kepercayaan dan cinta..

Anak-anak kecil berlari mengejar bola, di sudut desa, tertawa gembira, tak peduli apa yang menanti mereka di ujung sana..

Segayung murka tumpa tersandung kupu-kupu yang alpa menjalankan tugasnya mengisap sari bunga, basah membasahi kepala sang pencuri yang hendak pergi. Hadirkan satu kesadaran tentang kebenaran hakiki yang selama ini ia cari!

Senandung pilu anak gembala, menangisi kerbaunya yang terbaring kelelahan, mengharap bantuan, mengidamkan pembalasan pada angkara tak bertuan, tangan-tangan penjajah yang merobek nasibnya, menyisakan serpihan kemiskinan yang harus puas dilakoninya..

Derit kelelawar memanggang cekam! Ditambah pekik purnama dan belaian mesra kabut-kabut petang, auman serigala negeri antah berantah menyertai pedihnya nisan-nisan tak bertuan.., nisan-nisan terlupakan..

Dan anak itu, yang menangis terlunta-lunta di jalanan hanya karena ingin makan, terpaksa menelan segenggam pil kehidupan yang terpatri kuat dalam ingatan, ‘yang kaya selalu menang!’

Ini yang disebut kehidupan!

Kualihkan pandangan, kulihat para anggota dewan berdasi kupu-kupu, perlente, dengan perut kekenyangan dan kening berlipat memikirkan daftar pesanan sang permaisuri.., peluh menghiasi, menguatkan sepasang tangan untuk membubuhkan tanda tangan terlarang..

Pekik gembira membahana, membanjiri dunia dengan berlinangan gemerlap lamu warna-warni.., dentuman musik membius diri dan merasuki hati untuk menari.. terus, sepanjang malam.. Menanti pagi..

Sepotong meja kayu mahoni hitam berkilat terserak manja di pusat, menggertak marah, meminta perhatian sang manusia-manusia penari.., gelas-gelas kristal angkuh berisi cairan bahagia berjejer berderet-deret.., cantik.., menggoda..

Kerikil-kerikil kecil senantiasa ada, mengganjal langkah sesosok wanita berbaju tebal! Langkah terseok meninggalkan gurat-gurat kesedihan, membayang wajah suami dan anak laki-lakinya yang telah tenang dala satu dunia yang berbeda.. 2 cinta yang terenggut karena idealisme. Kegigihan memang selalu dibayar mahal, apalagi jika berhadapan dengan otoritas berusia 32 tahun..

Dan inisial tak berujung ini tak lelah menggoreskan mimpi-mimpi, yang bagi anak kecil berperut lapar di kolong jembatan, adalah buah dongeng yang manis rasanya.. Berebut, egois, mencoba hilangkan ironi pada hati-hati putih yang diselimuti debu tebal 7 centi. Hilangkan gurat-gurat rasa malu, dan harga diri.. Melibasnya mati dan pergi..

Senandung syahdu pemain cello tenggelam dalam drama kepura-puraan dan lautan topeng-topeng palsu. Kemilau cahaya kejujuran hanya tampak di ujung-ujung pelangi, membias ke segala arah, melapas foton-foton yang angkuh melesat pergi, membawa jejak-jejak Einstein..

Eskalasi peradaban menemui paradoksnya. Ironi yang hiperbolis! Ia bersiklus amat pendek bergantung pada tonggak rapuh manusia. Mencemooh kuasa Sang Pencipta dan angkuh berlari menuju lumbung neraka. Derap irama peradaban berputar cepat, selayak roda menuruni lereng gunung, menyambut jurang menganga yang teramat elok dihiasi air terjun cantik berdera-derai..

Dan disinilah aku berdiri..

Sendiri..

Mengejar matahari..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar